Senin, 23 Februari 2015

KEMBALIKAN KEPERCAYAAN PUBLIK PADA PERS

KEMBALIKAN KEPERCAYAAN PUBLIK PADA PERS

Staf redaksi(jatimexpose Pamekasan)MOH.SUIE

 Istilah wartawan amplop bukanlah fenomena baru di jagat kewartawanan. Sebab itu, tak hanya di jatim namun di setiap daerah di Indonesia bisa dengan mudah dijumpai orang yang mengatasnamakan wartawan, namun masih menerima amplop dari sejumlah  narasumber dengan dalih, misalnya, uang transport, uang bensin, uang rilis, bahkan yang lebih ekstrem : uang tutup mulut.

Semua pekerjaan adalah mulia, termasuk di dunia pers. Namun, apakah seluruh pekerjanya bekerja secara profesonal? Ini yang masih menjadi tanda tanya, bukan saja dari masyarakat, tetapi dari insan pers itu sendiri. Para jurnalis sendiri juga tidak boleh menutup mata maupun sok suci, jika fakta membuktikan bahwa keberadaan wartawan amplop alias wartawan bodrek benar adanya.

Terlepas hal tersebut dilakukan segelintir orang, -atau sebutlah oknum yang mengaku-ngaku wartawan alias bukan wartawan  sebenarnya-, namun tidak demikian di mata masyarakat awam. Masyarakat awam  kita hampir tidak mengenal istilah wartawan bodrek tersebut. Simpelnya, siapapun yang memiliki kartu pers, memiliki media tempat bernaung, bersenjatakan kamera/recorder/pena +block note dan  kerjanya mencari berita berarti wartawan. Tidak peduli jika berita itu didapat dengan cara santun dan sesuai dengan kaidah dan kode etik jurnalistik, maupun dengan cara yang merugikan atau bahkan melanggar hukum.

Tentu banyak faktor yang menjadi sebab  menjamurnya fenomena tersebut.  Alasan paling logis adalah perusahaan media tempatnya bernaung belum mampu memberikan kesejahteraan yang layak, sehingga wartawan ini merasa perlu mencari “tambahan penghasilan” untuk memenuhi kebutuhan hidup. Selain itu, juga masalah krisis moral, baik pribadi wartawannya sendiri maupun sang   narasumber,  sehingga menghalalkan segala cara termasuk bermain amplop demi tercapainya kepentingan masing-masing. Atau juga karena minimnya faktor pengawasan dari dewan pers maupun organisasi jurnalis itu sendiri.

Saking menjamurnya keberadaan wartawan amplop, sampai tidak bisa lagi membedakan mana jurnalis yang betul-betul bekerja secara profesional dengan yang hanya mencari amplop. Tentunya perlu riset dan kajian lebih mendalam lagi untuk mencari dan menemukan akar masalah yang sebenarnya. Bisa jadi ada faktor lain lagi yang lebih kompleks.

Krisis Kepercayaan Publik

Pers saat ini memiliki permasalahan baru, yakni krisis kepercayaan publik. Masyarakat kian skeptis dengan independensi wartawan. Jika dahulu jurnalis adalah profesi yang menjunjung tinggi independensi, mampu menjadi alat kontrol sosial dan siap mengatakan kebenaran walau nyawa taruhannya hingga tak sedikit media yang harus diberedel karena begitu vokal.  Namun kini, anggapan tersebut kian tergerus. Bukan karena tidak ada lagi media yang menjunjung kode etik jurnalistik, tetapi banyak bermunculan media yang mementingkan golongan tertentu.

Seorang teman yang masih kelas 3 SMP pernah mengomentari salah satu stasiun TV swasta ternama. “Kemarin-kemarin sih beritanya oke, tapi makin dekat pemilu, makin ketahuan deh memihak siapa. Jadi bingung, apa enggak ada lagi media yang benar-benar netral dan bisa dipercaya serta enggak mihak kepentingan orang-orang tertentu saja?”

Lain lagi dengan seorang kepala desa yang tinggal di wilayah tertinggal. Suatu hari ia bertanya mengenai berapa biaya yang harus dikeluarkan agar figur seseorang maupun kegiatan tertentu bisa dimuat ke dalam koran. Pertanyaan tersebut  seolah menyatakan,  bahwa ukuran layak muatnya sesuatu atau tidak itu semata hanya ditentukan oleh berapa banyak uang yang dimiliki.

Selain itu, ada banyak pengalaman tidak mengenakkan yang dialami masyarakat yang bertatap muka dengan wartawan juga tidak bisa dianggap remeh. Pembaca mungkin juga ada yang memiliki pengalaman tidak mengenakkan seperti diperas atau diancam dengan oknum wartawan tertentu, misalnya. Penulis sendiri kerap menjumpai keluhan-keluhan bernada miring terkait keberadaan oknum wartawan seperti ini, baik di dunia nyata maupun di dunia maya.

Realita seperti itulah yang kerap membuat publik kian pesimistis dengan dunia pers. Bila hal tersebut dibiarkan berlarut, kemerdekaan pers yang dengan susah payah diperjuangkan selama ini justru akan menjadi bumerang yang menghancurkan.

Ayo Bangkit!

Perlu adanya tindakan nyata untuk mengakhiri carut marut dunia pers ini. Rekonstruksi harus dilakukan di semua lini agar kepercayaan publik bisa kembali. Pers pun bisa kembali ke fungsi sesungguhnya yakni sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial, seperti yang tertuang pada pasal 3 UU No.40 Tahun 1999 tentang pers.

Apa yang dilakukan organisasi pers seperti Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) misalnya, sudah mulai terlihat. Salah satunya dengan melakukan Uji Kompetensi Wartawan (UKW), yang salah satu manfaatnya adalah menyaring wartawan yang benar-benar berkompeten dan mampu bekerja dengan menjunjung profesionalisme.  Aliansi Jurnalis Independen (AJI) pun demikian, pihaknya mendukung penuh upaya gubernur Jateng menghapuskan ‘ritual’ amplop wartawan yang dianggap mencoreng tugas mulia seorang wartawan.

Hendaknya hal tersebut juga diimbangi oleh pemerintah, pejabat maupun narasumber lainnya. Harus berani mengambil komitmen untuk menutup celah praktik suap, gratifikasi, juga kongkalikong dengan wartawan.

Perusahaan media sebaiknya juga lebih cerdas betindak. Masyarakat saat ini kian kritis, dan tidak akan peduli jika perusahaan apapun tetap memiliki pertimbangan ekonomi dan bisnis. Namun, harus ada batas yang jelas, antara iklan yang menjadi sumber pemasukan utama perusahaan dengan berita yang menjadi nyawa dunia jurnalisme. Jangan sampai masyarakat menjadi bias, dan malah dijadikan celah untuk membeli berita dan bahkan kebenaran.

Dukungan untuk kemajuan dan perkembangan pers bisa dilakukan dengan cara yang lebih elegan. Antara lain betul-betul menjamin kebebasan pers dengan artian tidak ada lagi kekerasan maupun pengekangan dalam bentuk apapun.Hal ini terkait masih banyaknya kasus kekerasan yang terjadi pada jurnalis dan pekerja media. Lembaga International Federation of Journalist (IFJ) ,seperti yang dilansir m.kabar24.com, pada akhir tahun lalu merilis data sedikitnya 108 jurnalis terbunuh saat melaksanakan tugas selama 2013.

Selain itu, perlunya kerjasama membuat program-program unggulan yang mampu meningkatkan kualitas dan kemampuan orang-orang yang berpayung dalam naungan keluarga besar pers. Sambil menyelam minum air, program tersebut tentunya harus sejalan pula dengan misi memajukan bangsa dari berbagai sektor.

Ayo bangkit! Kikis perlahan mosi tidak percaya pada pers. Buang rasa pesimistis akan semua hal buruk yang terjadi di negeri ini, termasuk yang mungkin terjadi pada pers. Yakinlah, pasti masih banyak insan pers di Indonesia yang bekerja secara professional, menjaga independensi, dan tidak mempolitisir pemberitaan serta mendedikasikan hidupnya demi kemajuan bangsa.

1 komentar:

egertonyadav mengatakan...

SlotyCasino.com: 2021 All You Need to Know - Mapyro
SlotyCasino.com is an 광주 출장안마 online gambling website that offers real money casino games, 이천 출장안마 including 거제 출장마사지 slot games, 구미 출장안마 video poker, roulette, and scratch 파주 출장샵 cards.