K

T

T

T

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Senin, 23 Februari 2015

KEMBALIKAN KEPERCAYAAN PUBLIK PADA PERS

KEMBALIKAN KEPERCAYAAN PUBLIK PADA PERS

Staf redaksi(jatimexpose Pamekasan)MOH.SUIE

 Istilah wartawan amplop bukanlah fenomena baru di jagat kewartawanan. Sebab itu, tak hanya di jatim namun di setiap daerah di Indonesia bisa dengan mudah dijumpai orang yang mengatasnamakan wartawan, namun masih menerima amplop dari sejumlah  narasumber dengan dalih, misalnya, uang transport, uang bensin, uang rilis, bahkan yang lebih ekstrem : uang tutup mulut.

Semua pekerjaan adalah mulia, termasuk di dunia pers. Namun, apakah seluruh pekerjanya bekerja secara profesonal? Ini yang masih menjadi tanda tanya, bukan saja dari masyarakat, tetapi dari insan pers itu sendiri. Para jurnalis sendiri juga tidak boleh menutup mata maupun sok suci, jika fakta membuktikan bahwa keberadaan wartawan amplop alias wartawan bodrek benar adanya.

Terlepas hal tersebut dilakukan segelintir orang, -atau sebutlah oknum yang mengaku-ngaku wartawan alias bukan wartawan  sebenarnya-, namun tidak demikian di mata masyarakat awam. Masyarakat awam  kita hampir tidak mengenal istilah wartawan bodrek tersebut. Simpelnya, siapapun yang memiliki kartu pers, memiliki media tempat bernaung, bersenjatakan kamera/recorder/pena +block note dan  kerjanya mencari berita berarti wartawan. Tidak peduli jika berita itu didapat dengan cara santun dan sesuai dengan kaidah dan kode etik jurnalistik, maupun dengan cara yang merugikan atau bahkan melanggar hukum.

Tentu banyak faktor yang menjadi sebab  menjamurnya fenomena tersebut.  Alasan paling logis adalah perusahaan media tempatnya bernaung belum mampu memberikan kesejahteraan yang layak, sehingga wartawan ini merasa perlu mencari “tambahan penghasilan” untuk memenuhi kebutuhan hidup. Selain itu, juga masalah krisis moral, baik pribadi wartawannya sendiri maupun sang   narasumber,  sehingga menghalalkan segala cara termasuk bermain amplop demi tercapainya kepentingan masing-masing. Atau juga karena minimnya faktor pengawasan dari dewan pers maupun organisasi jurnalis itu sendiri.

Saking menjamurnya keberadaan wartawan amplop, sampai tidak bisa lagi membedakan mana jurnalis yang betul-betul bekerja secara profesional dengan yang hanya mencari amplop. Tentunya perlu riset dan kajian lebih mendalam lagi untuk mencari dan menemukan akar masalah yang sebenarnya. Bisa jadi ada faktor lain lagi yang lebih kompleks.

Krisis Kepercayaan Publik

Pers saat ini memiliki permasalahan baru, yakni krisis kepercayaan publik. Masyarakat kian skeptis dengan independensi wartawan. Jika dahulu jurnalis adalah profesi yang menjunjung tinggi independensi, mampu menjadi alat kontrol sosial dan siap mengatakan kebenaran walau nyawa taruhannya hingga tak sedikit media yang harus diberedel karena begitu vokal.  Namun kini, anggapan tersebut kian tergerus. Bukan karena tidak ada lagi media yang menjunjung kode etik jurnalistik, tetapi banyak bermunculan media yang mementingkan golongan tertentu.

Seorang teman yang masih kelas 3 SMP pernah mengomentari salah satu stasiun TV swasta ternama. “Kemarin-kemarin sih beritanya oke, tapi makin dekat pemilu, makin ketahuan deh memihak siapa. Jadi bingung, apa enggak ada lagi media yang benar-benar netral dan bisa dipercaya serta enggak mihak kepentingan orang-orang tertentu saja?”

Lain lagi dengan seorang kepala desa yang tinggal di wilayah tertinggal. Suatu hari ia bertanya mengenai berapa biaya yang harus dikeluarkan agar figur seseorang maupun kegiatan tertentu bisa dimuat ke dalam koran. Pertanyaan tersebut  seolah menyatakan,  bahwa ukuran layak muatnya sesuatu atau tidak itu semata hanya ditentukan oleh berapa banyak uang yang dimiliki.

Selain itu, ada banyak pengalaman tidak mengenakkan yang dialami masyarakat yang bertatap muka dengan wartawan juga tidak bisa dianggap remeh. Pembaca mungkin juga ada yang memiliki pengalaman tidak mengenakkan seperti diperas atau diancam dengan oknum wartawan tertentu, misalnya. Penulis sendiri kerap menjumpai keluhan-keluhan bernada miring terkait keberadaan oknum wartawan seperti ini, baik di dunia nyata maupun di dunia maya.

Realita seperti itulah yang kerap membuat publik kian pesimistis dengan dunia pers. Bila hal tersebut dibiarkan berlarut, kemerdekaan pers yang dengan susah payah diperjuangkan selama ini justru akan menjadi bumerang yang menghancurkan.

Ayo Bangkit!

Perlu adanya tindakan nyata untuk mengakhiri carut marut dunia pers ini. Rekonstruksi harus dilakukan di semua lini agar kepercayaan publik bisa kembali. Pers pun bisa kembali ke fungsi sesungguhnya yakni sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial, seperti yang tertuang pada pasal 3 UU No.40 Tahun 1999 tentang pers.

Apa yang dilakukan organisasi pers seperti Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) misalnya, sudah mulai terlihat. Salah satunya dengan melakukan Uji Kompetensi Wartawan (UKW), yang salah satu manfaatnya adalah menyaring wartawan yang benar-benar berkompeten dan mampu bekerja dengan menjunjung profesionalisme.  Aliansi Jurnalis Independen (AJI) pun demikian, pihaknya mendukung penuh upaya gubernur Jateng menghapuskan ‘ritual’ amplop wartawan yang dianggap mencoreng tugas mulia seorang wartawan.

Hendaknya hal tersebut juga diimbangi oleh pemerintah, pejabat maupun narasumber lainnya. Harus berani mengambil komitmen untuk menutup celah praktik suap, gratifikasi, juga kongkalikong dengan wartawan.

Perusahaan media sebaiknya juga lebih cerdas betindak. Masyarakat saat ini kian kritis, dan tidak akan peduli jika perusahaan apapun tetap memiliki pertimbangan ekonomi dan bisnis. Namun, harus ada batas yang jelas, antara iklan yang menjadi sumber pemasukan utama perusahaan dengan berita yang menjadi nyawa dunia jurnalisme. Jangan sampai masyarakat menjadi bias, dan malah dijadikan celah untuk membeli berita dan bahkan kebenaran.

Dukungan untuk kemajuan dan perkembangan pers bisa dilakukan dengan cara yang lebih elegan. Antara lain betul-betul menjamin kebebasan pers dengan artian tidak ada lagi kekerasan maupun pengekangan dalam bentuk apapun.Hal ini terkait masih banyaknya kasus kekerasan yang terjadi pada jurnalis dan pekerja media. Lembaga International Federation of Journalist (IFJ) ,seperti yang dilansir m.kabar24.com, pada akhir tahun lalu merilis data sedikitnya 108 jurnalis terbunuh saat melaksanakan tugas selama 2013.

Selain itu, perlunya kerjasama membuat program-program unggulan yang mampu meningkatkan kualitas dan kemampuan orang-orang yang berpayung dalam naungan keluarga besar pers. Sambil menyelam minum air, program tersebut tentunya harus sejalan pula dengan misi memajukan bangsa dari berbagai sektor.

Ayo bangkit! Kikis perlahan mosi tidak percaya pada pers. Buang rasa pesimistis akan semua hal buruk yang terjadi di negeri ini, termasuk yang mungkin terjadi pada pers. Yakinlah, pasti masih banyak insan pers di Indonesia yang bekerja secara professional, menjaga independensi, dan tidak mempolitisir pemberitaan serta mendedikasikan hidupnya demi kemajuan bangsa.

Minggu, 22 Februari 2015

10 JURUS YANG HARUS DIKUASI OLEH SEORANG JURNALIS ,AGAR BISA MENJADI JURNALIS SAKTI

 

10 JURUS YANG HARUS DIKUASI OLEH SEORANG JURNALIS ,AGAR BISA MENJADI JURNALIS SAKTI

 

MOH SU,IE(Staf Rdaksi)

Menjadi jurnalis buat sebagian orang adalah panggilan jiwa. Talenta mereportase dan menulis sebagai basis, menjadikan seseorang terpanggil untuk menjadi wartawan. Tapi, ada pula yang memilih pekerjaan ini lantaran belum diterima di profesi lain.
Meski demikian, ketika seseorang sudah menyandang predikat wartawan, ia dipaku dengan sejumlah aturan. Kalangan jurnalis akrab menyebutnya dengan Ko
de Etik Jurnalistik.
Selain itu, ada banyak hal yang berkenaan dengan profesi wartawan yang tidak terangkum dalam Kode Etik. Tiap perusahaan kemudian memberikan panduan. Sejumlah organisasi profesi pers, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) misalnya, juga memberikan panduan.
Pengalaman beberapa jurnalis senior juga menjadi bahan pegangan. Dari semua itu, poin-poin ini saya jabarkan. Sejujurnya ini banyak diambil dari pengalaman di lapangan, mengikuti rapat keredaksian, dan saling bertukar pendapat dengan sesama wartawan. Rata-rata semua sepakat dengan kesepuluh poin ini. Ada memang beberapa lainnya, tapi saya fokuskan saja menjadi sepuluh. Ini niatnya sekadar memudahkan saja. Sumpah, Gan! Mau dibikin lebih panjang pun tak masalah. Ibarat merangkum senarai teks panjang, demikian pula di noktah ini. Oke, kita mulai.

Pertama, tidak boleh menolak tugas. Para bos media acap mempersamakan jurnalis dengan polisi atau tentara. Begitu ada perintah untuk turun ke lapangan, saat itu juga berangkat. Entah dalam kondisi apa kita saat itu, wajib berangkat. Ada tidaknya kendaraan menuju lokasi kejadian, tidak boleh menjadi alasan. Begitu ada tugas yang harus dikerjakan, ya dilakoni. Menolak tugas, itu sama saja mencari “mati”. Di militer disertir namanya. Dalam konteks jurnalis juga begitu. Bahkan, beberapa aturan perusahaan menuliskan “jurnalis yang menolak tugas sama artinya mengundurkan diri”. Bisa mampus kan? Kalau tentara dan polisi punya jadwal piket, demikian juga wartawan. Ia mesti bersiaga jika ada kejadian yang mesti direportase.


Kalau pemimpin redaksi memerintahkan mesti berangkat meliput, jawab dengan satu kata saja. Diksinya pilih yang enak diucap di mulut. Bisa “baik”, “oke”, “siap”, meluncur”, “OTW”. Intinya, jangan pernah menolak tugas. Kecuali reporter yang bersangkutan masih cuti menikah. Kalau si pemimpin redaksi memerintah, ya keterlaluan namanya. Namun, kalau kejadiannya adalah tetangga wartawan yang sedang cuti dan tidak ada jurnalis lain, mesti siap turun. Ibarat ada peluang menangkap koruptor, penyidik KPK yang sedang cuti pun mesti bertindak. Maka itu, andai kepingin jadi jurnalis, bersiap-siagalah.

Kedua, tidak boleh tidak dapat.
Ada banyak reporter yang gagap saat menerima telepon dari pemimpin redaksi, redaktur pelaksana, atau redakturnya. Kalau sudah melihat nama bos di layar ponsel, hakulyakin, yang ada di pikiran mereka “aduh, disuruh apa lagi gua ini”, “salah apa lagi sampai ditelepon”, atau “apa lagi kerjaan ini”. Meski begitu, tetap saja diangkat dan menerima titah berikutnya. Dan dalam konteks ini, berita atau komentar narasumber yang diminta, wajib didapat. Tidak boleh tidak dapat. Harus dapat. Yang berabe kalau narasumber tidak bisa ditemui, SMS pun tidak dibalas, dan narasumber alternatif tidak bisa dicari. Kalau mentok seperti itu, berkonsultasilah dengan redaktur karena dia adalah orang yang secara garis komando paling dekat dengan reporter. Barangkali dia bisa memberikan masukan dan alternatif narasumber.
Sewaktu konflik di Mesir antara demonstran dan rezim Hosni Mubarak, seorang reporter Lampung Post, Rizki Elinda Sary namanya, diminta mencari mahasiswa Indonesia di negeri Sphinx itu untuk diwawancara. Dia berusaha keras agar dapat akses ke sana. Ujung-ujungnya dapat dengan melakukan wawancara via Facebook dengan mahasiswa asal Lampung yang masih terjebak di Mesir. Jurnalis memang dituntut kreatif. Tidak bisa wawancara langsung, interviu tertulis tak masalah. Itu juga tidak bisa, via SMS, BlackBerry Messenger, atau Facebook pun boleh. Otak mesti diputar agar tugas dari pimpinan bisa dilaksanakan.

Ketiga, tidak boleh mematikan ponsel.
Karena mesti bersiaga 24 jam, ponsel adalah alat komunikasi mahautama buat jurnalis. Sebab itu, mematikan ponsel dalam masa bekerja adalah kekeliruan besar. Kita bisa dimaki redaktur dan pemimpin redaksi jika ponsel mati terus saat dihubungi. Meski sekarang setiap reporter mengirim berita via internet, bertanya kepadanya soal beberapa hal adalah penting. Barangkali redaktur mau memverifikasi nama dan kejadian. Ia menelepon tak semata memerintahkan reporter mencari berita lain. Bisa jadi sekadar menyapa atau si redaktur hendak curhat. Jadi, buang jauh-jauh sikap skeptis kepada redaktur atau pemred. Skeptis hanya boleh kepada narasumber. Jangan pula menyesal jika ternyata telepon yang masuk ke ponsel kita yang mati mengabarkan ada bonus dari kantor. Kalau itu yang terjadi, siap-siap saja gigit jari.
Sedapat mungkin ponsel dalam kondisi siaga. Kalaupun hendak mengecas, lakukan malam hari sepulang kerja dan segera hidupkan di pagi hari. Namanya juga tugas, kadang seharian tak ada yang menelepon, tapi ada kalanya berdering terus setiap jam.

Keempat, tidak boleh libur.
Ini ungkapan hiperbola tentu saja. Sebab, setiap reporter umumnya punya waktu libur satu hari dalam sepekan. Di media lain ada yang liburnya sehari dalam dua minggu. Tapi, kembali ke kesiapsiagaan tadi, sejatinya jurnalis tak ada libur. Ia mesti dalam kondisi siap setiap hari. Setiap ada panggilan tugas, ia mesti siap. Sebab, ada kalanya, kemampuan seorang jurnalis diperlukan saat ia sedang rehat. Misalnya, kantor kedatangan duta besar Amerika Serikat. Ia belum piawai berbahasa Indonesia. Rumah kita dekat dengan kantor. Sedangkan reporter piket belum ada. Karena kita yang paling piawai berbahasa Inggris, kantor meminta kita datang. Ya dalam situasi model begitu, kita mesti siap ambil tanggung jawab. Ketimbang si dubes tidak ada yang menerima dan mendapat kesan kurang bagus, kita yang menerima dan mewawancarai.

Kelima, tidak boleh menggerutu.
Kadang tulisan kita tidak ditayangkan oleh penanggung jawab halaman atau redaktur. Dan kita pun tidak bertanya langsung kepadanya. Kita cuma menggerutu. Kadang tulisan yang tidak turun itu karena berkaitan dengan kebijakan redaksi.
Misalnya, kita menulis soal penyitaan aset negara oleh kejaksaan setempat. Celakanya, penyitaan aset negara itu berujung ricuh. Mereka yang disita asetnya tidak menerima kemudian berkeras tidak menerima. Kita pun mereportase apa yang sedang terjadi. Kita berharap tulisan itu menjadi berita utama. Paling tidak menjadi berita utama di halaman dalam. Namun, saat besok kita lihat, berita kita tidak masuk. Dan kelanjutan dari berita itu juga tak pernah dimuat. Dalam kondisi semacam inilah reporter diminta legawa. Itu pasti kebijakan redaksi. Mungkin berkaitan dengan sikap redaksi soal itu itu. Kalau kita penasaran, kita tanya saja dengan redaktur atau pemred. Mereka akan menjelaskan. Meski demikian, tanpa bertanya saja kita sudah bisa menduga bahwa berita itu tidak tayang karena kebijakan redaksi. Kalaupun kita bertanya, sudah bisa diduga jawaban bos media kita ialah “ini kebijakan redaksi”. Tugas kita selaku reporter memang sebatas melaporkan. Soal tulisan itu turun atau tidak, jadi berita utama atau biasa, itu wewenang redaktur dan unsur pimpinan. Tapi, alangkah bijak jika manajemen memberi tahu reporter bahwa berita semacam itu tidak bisa turun. Manajemen redaksi punya trek dan tren tersendiri terhadap berita yang mau diturunkan. Maka itu, janganlah menggerutu. Lebih baik tanyakan. Kalau sudah jadi kebijakan, lebih baik menurut. Namun, kalau dalam kacamata kita itu layak diberitakan dan menganggap media kita salah, serta kita sangat tidak nyaman lagi, pilihan cuma satu: keluar. Toh itu pilihan. Itu bentuk idealisme juga. Cuma ada baiknya kita mengukur kembali niat itu. Apakah dengan keluar kita bisa menolong lebih banyak korban tertindas dengan berita yang kita bikin. Atau malah kita tak bisa berkontribusi lagi buat masyarakat. Akan tetapi, pilihan sadar adalah yang terbaik: bertahan atau keluar.

Keenam, tidak boleh dihalangi.
Kalau Anda kedatangan jurnalis dan dia datang baik-baik, terima saja dengan terbuka. Jurnalis yang seperti itu hampir bisa dipastikan datang dari media arus utama dan niatnya cuma cari informasi. Meski informasi yang mau ia gali soal korupsi, penyelewengan anggaran atau tindak pidana, umumnya ia akan bekerja dengan baik. Misalnya seorang wartawan datang mau mengonfirmasi soal dugaan pungli di sekolah. Ia pasti menemui narasumber utama: kepala sekolah. Meskipun ada resistensi dari sekolah, jurnalis yang baik tetap sopan selama mereportase. Ia tidak bakalan merasa gagah karena dirinya wartawan. Kalaupun ia tak mendapat narasumber resmi, obrolan beberapa guru dan siswa yang tak mau ditulis namanya, sudah cukup menjadi dasar untuk menulis. Apalagi kalau ada dokumen yang sudah ia pegang.
Kalau pihak yang terduga menyeleweng memang tak bersalah, ia pun tidak takut menghadapi wartawan. Meski isi wawancara adalah bantahan terhadap kabar itu, wartawan tetap mencatatanya sebagai bagian dari pekerjaan reportasenya. Ia tinggal menyinkronkan antara data yang ia pegang dengan konfirmasi ke sekolah yang bersangkutan.
Jurnalis tidak boleh diintimidasi selama ia melakukan reportase. Ia dilindungi Undang-Undang tentang Pers. Kalaupun narasumber merasa jurnalis yang mendatanginya malah memeras, segera laporkan ke polisi. Sudah banyak wartawan gadungan yang masuk bui karena polahnya yang memuakkan. Buat yang model begini, jangan diberi ampun. Penjara adalah tempat yang pantas buat para pemeras yang berlindung dengan selembar kartu pers.

Ketujuh, tidak boleh digaji kecil.
Wartawan juga punya hak untuk hidup layak. Punya rumah, dapur tetap mengepul, ada asuransi jiwa, kesehatan, punya tunjangan, dan bisa menyekolahkan anak sampai strata paling tinggi. Dengan begitu, jurnalis butuh gaji yang layak. Besar-kecil jelas ratif karena setiap orang punya pandangan berbeda soal itu. Tapi, standarnya tetap saja ada. Kalau gaji jurnalis cuma cukup buat makan, itu tidak ideal. Maka itu, manajemen wajib memberikan gaji yang layak buat wartawan. Di Bandar Lampung, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandar Lampung pernah menyurvei berapa gaji yang layak buat seorang reporter lajang/gadis. Ketemu angka Rp 2,3 juta. Angka ini jelas bertambah jika wartawan sudah memiliki istri dan anak. Filosofi pendiri Kompas, PK Ojong soal gaji, saya sepakat sekali. Kata Ojong, gaji itu jangan cuma melihat karyawan seorang. Tapi, penghasilan itu mesti cukup untuk istri dan anak. Tidak salah kalau jurnalis dalam grup Kompas termasuk yang paling baik penggajiannya.
Media lain seharusnya juga demikian. Apalagi yang sudah berdiri lama. Harus ada penyesuaian setiap tahun karena harga barang pasti terkerek setiap bulan. Kalau gaji tak naik-naik, mana cukup untuk menghidupi keluarga jurnalis.
Kalau gaji wartawan rendah, sedikit banyak berpengaruh terhadap kinerja.
Bos media jangan cuma mau berita eksklusif saja, tapi tidak memikirkan kesejahteraan wartawan. Mau berita bagus, tapi gaji wartawan digencet. Mau artikel yang menarik tetapi tak dipikirkan keluarga si jurnalis. Berimbang saja.
Kalau pemimpin redaksi ketat terhadap wartwan, ia wajib memperjuangkan gaji penggawanya ke pemilik modal juga dengan gagah. Kalau ia sanggup berceloteh tentang jurnalisme, begitu juga seharusnya saat ia berhadapan dengan bos medianya. Sangat naif kalau wartawan sakit saja pengobatan dari kocek sendiri. Besok-besok, jangan harap jurnalis mau bekerja serius kalau itu kejadiannya. Jangan harap wartawan mau mengaktifkan ponselnya kalau perhatian kantor kecil.
Wartawan wajib digaji layak. Ia juga buruh. Tapi ia bekerja dengan profesionalitas dan intelektualitas. Maka itu, ia berhak dihargai dengan gaji yang manusiawi.

Kedelapan, tidak boleh menerima suap.
Jurnalis wajib mengedepankan independensi dari semua narasumber. Dan media semestinya bisa serupa itu dengan pemasang iklan. Artinya, skeptisme media dan jurnalis sebaiknya sama dan sebangun.
Dalam konteks itu, jurnalis dilarang menerima pemberian apa pun dari narasumber. Hampir semua media sepakat dengan ini. Sebab, di boks redaksi acap ditemukan kalimat “wartawan kami dilarang menerima apa pun, dari siapa pun, dan atas kepentingan apa pun.” Ini menyiratkan media juga melarang keras jurnalisnya menerima duit atau yang dalam bahasa keseharian disebut “amplop”. Sayangnya tidak setiap media tegas dengan wartawan yang menerima duit amplop. Bahkan, media yang tak bisa menggaji wartawannya, malah permisif dengan itu.
Kadang ada jurnalis yang bilang “kalau tidak menyangkut pemberitaan dan sekadar menjaga hubungan, amplop tidak apa diterima”. Ada juga yang bilang, “Kalau tidak minta dan dikasih, itu kan rezeki, terima saja.”
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) tegas melarang anggotanya menerima amplop. Yang ketahuan dan tercium gelagat itu, pasti dipecat. Di Bandar Lampung, sudah ada kejadian semacam itu. Sayangnya organisasi profesi pers lain masih permisif. Ditanya soal sikap organisasi soal amplop, malah mengelak dengan mengatakan itu urusan pribadi wartawan dan medianya. Aneh, bikin organisasi pers kok tidak punya aturan tegas soal itu. Pantas dunia jurnalisme terpuruk karena mayoritas masyarakat berpikir wartawan itu otaknya duit melulu. Sedih!
Kenapa sih kok sampai menerima amplop itu dilarang? Jurnalis tak pernah tahu kapan seseorang itu menjadi narasumber. Maka, harus dijaga independensi. Salah satu cara, menolak semua pemberian. Manfaatnya, menjaga independensi dan tak punya utang moral. Kalau sudah permisif, mana bisa skeptis. Kalau sudah keseringan menerima duit dari gubernur, mana mungkin kritis. Seorang teman lama pernah mengatakan, “tangan di bawah takkan pernah sanggup melawan tangan di atas.” Sudah sering menerima, pasti sungkan menulis kritis. Tegasnya, kalau mau jadi jurnalis yang baik, tolak amplop. Semaksimal yang kita bisa. Mantan Ketua AJI Bandar Lampung yang sekarang jadi Redaktur Pelaksana Tribun Lampung, Juwendra Asdiansyah, mengatakan, “hidup lebih bermakna dengan idealisme di dada”. Subhanallah.
Kalau merasa tak kuat godaan amplop, pilihannya seperti yang pernah disinggung di pon sebelumnya: mundur saja. Berhenti jadi wartawan. Ketimbang melacurkan diri dan menambah ruwet persoalan jurnalisme di masyarakat, lebih baik cari kerja lain. Kasihan kepada jurnalis yang independen dan idealis, disangka sama dengan jurnalis permisif amplop.
Menolak amplop dalam banyak kasus, mendatangkan banyak keuntungan buat jurnalis. Tidak percaya? Ini buktinya. Seorang kepala depot Pertamina yang baru dilantik, tiba-tiba didatangi wartawan. Ada beberapa orang. Wajahnya tidak bersahabat. Lebih menyerupai pemeras ketimbang wartawan. Kepala depot lalu dimintai uang. Rutin lagi. Sebulan sekali. Kata para jurnalis gadungan itu, ini tradisi, di mana korporasi harus menyiapkan uang untuk keperluan publikasi.

Sang kepala depot stres. Ia sedikit depresi. Otaknya menstigma bahwa semua wartawan serupa itu. Ia pun menurut. Setiap konferensi pers, ia siapkan duit. Wartawan media utama dan abal-abal dikasih duit. Semua menerima. Tanpa terkecuali. Sampai suatu waktu ada dua wartawan muda anggota AJI meliput di sana. Saat membagi amplop, dua wartawan muda itu “kabur”. Sang kepala depot heran. Kok ada menolak duit. Ia kejar dua jurnalis muda itu. Bayangkan, seorang kepala depot Pertamina sampai mengejar wartawan supaya menerima uang amplop. Dua jurnalis menolak keras. Sekian alasan dilontarkan sampai ujung argumentasinya begini, “Kami anggota AJI, kami tidak bisa menerima. Kami bisa dipecat kantor kalau menerima ini.”
Sang kepala depot tertegun. Ia heran sekaligus senang. Ia masygul sekaligus bangga. Ia lalu bilang, “Kalau semua wartawan seperti adik-adik, aman dunia ini.” Sang kepala depot kemudian berubah perspektifnya soal wartawan. Sekarang, kalau ada informasi ekskusif soal bahan bakar, soal dugaan penggelapan bahan bakar, dua wartawan itu yang pertama diajak. Sebab, sang kepala depot tahu, yang dibutuhkan jurnalis adalah informasi, bukan duit. Narasumber sangat menghargai jurnalis yang profesional. Bahasa ekstremnya, jurnalis yang permisif dengan amplop, harga dirinya sudah bisa ditakar. Paling setara seratus atau dua ratus ribu rupiah! Miris!

Kesembilan, tidak berpolitik praktis.
Menjadi jurnalis bukan berarti hak politiknya tercabut. Ia boleh menyalurkan hak pilihnya pada calon legislator partai tertentu. Yang tidak diperbolehkan ialah merangkap menjadi pengurus partai. Kalau sudah mau berpolitik praktis, jelas urusannya. Ia mesti menanggalkan baju jurnalisnya. Mengapa? Sebab, kalau sampai ia masih menjadi jurnalis akan ada konflik kepentingan. Sebagai aktivis partai, ia pasti memberitakan keharuman partainya. Padahal partai berorientasi kekuasaan. Dan saat berkuasa, mengutip Lord Acton, cenderung korup atau menyeleweng. Apakah mungkin ia masih mau menulis kebobrokan partainya sendiri? Maka, di beberapa media, aturannya tegas. Pilih aktif di partai atau terus sebagai jurnalis. Meski demikian, yang sembunyi-sembunyi pun ada. Kalau ditanya aktif tidak di partai, ia cuma menjawab “cuma fans saja, bantu-bantu sedikit”.
Soal jurnalis alih profesi jadi politikus, tidak ada masalah. Di DPR ada banyak legislator yang bermula dari jurnalis. Ada Ramadhan Pohan dari Demokrat yang bekas Pemred Jurnal Nasional (Jurnas), ada Effendi Choirie dari PKB, Teguh Juwarno asal PAN adalah bekas jurnalis televisi, Meuthia Hafid dari Golkar adalah jurnalis andalan Metro TV. Di skop daerah juga bertebaran anggota dewan yang mengawali kiprah di masyarakat dari jurnalis. Bahkan, beberapa kepala daerah juga awalnya wartawan. Di Lampung, bekas Wakil Bupati Lampung Timur Noverisman Subing adalah koresponden salah satu harian di Jakarta.

Kesepuluh, tidak boleh sombong.
Poin terakhir dari sembilan elemen jurnalisme yang dirumuskan “nabi jurnalisme” Bill Kovach dan Tom Rosensteil ialah rendah hati. Wartawan harus rendah hati. Ia harus mengakui kesalahan jika bersalah. Ia harus sopan dalam mereportase. Ia tidak boleh sombong. Sikapnya yang sopan dalam mewawancarai, harus sama kepada setiap narasumber. Kalau ia ramah saat mewawancarai gubernur, ia juga mesti begitu saat berhadapan dengan maling atau pembunuh. Kalau ia bersikap manis saat mewawancarai kepala dinas, sama dan sebangun saat menginterviu pelacur. Sebab, buat jurnalis, semua narasumber punya kedudukan yang sama. Mereka sumber informasi. Tak lebih, tak kurang.
Wartawan yang sudah puluhan tahun bekerja tetap harus memperbaiki cara bekerja, cara mewawancarai, dan cara menulis berita. Tak jadi jaminan, sudah puluhan tahun jadi wartawan, pasti hebat. Belum tentu, Bro! Jangan sombong!
Kenapa ini penting? Sebab, rendah hati akan sangat berharga saat jurnalis bekerja.
Wartawan itu manusia biasa yang bekerja dengan banyak keterbatasan. Boleh jadi ia salah menulis nama narasumber, keliru menulis kronologi kejadian, salah menginterpretasikan ujaran narasumber, dan sebagainya. Pada saat itulah ia dituntut rendah hati, meminta maaf atas kekeliruan yang dibuat. Dan itu bukan sesuatu yang hina. Bahkan, keluasan pandang jurnalis yang seperti itu yang disukai. Kita senang dengan teman yang acap meminta maaf saat ia bersalah. Kita pasti jengkel dengan karib yang ngotot benar padahal jelas-jelas keliru.
Meralat berita, membetulkan artikel yang khilaf, meminta maaf atas kekeliruan interpretasi adalah beberapa contoh rendah hati dari seorang jurnalis. Namun, bukan berarti ia permisif dengan kesalahan narasumber dan mengikis skeptisismenya terhadap sumber berita.
Saat Bondan Winarno menyusun buku soal kematian geolog Bre-X, de Guzman, ia juga bersikap rendah hati. Bahkan, meski karya Pak Bondan “Mak Nyus” itu terkategori investigasi soal kecurangan Bre-X dalam kasus emas Busang, Pak Bondan tetap rendah hati dalam mereportase. Ia bahkan mengaku secara terang-terangan bahwa ia wartawan dan akan meliput soal kematian de Guzman yang menurut dia janggal. Linda Christanty, jurnalis Aceh Feature, yang menceritakan itu kepada saya dalam sebuah kesempatan.
Tegasnya, jadi jurnalis wajib rendah hati. Rendah hati takkan mengakibatkan martabat kita hilang. Justru dengan rendah hati, marwah kita sebagai wartawan tetap terjaga. Wallahualam bissawab.

KECEWA KINERJA PLT KADES TARABAN ,WARGA SEGEL BALAI DESA

KECEWA KINERJA PLT KADES TARABAN ,WARGA SEGEL BALAI DESA

JATIMEXPOSE PAMEKASAN

Balai Desa Taraban kecamatan Larangan Kabupaten Pamekasan sabtu 14/2/15 disegel oleh warga  , dengan cara meletakkan bebera  batang  pohon mahoni yang dipasang  melintang  dan di ikat dengan kawat di depan pintu masuk Balai desa  sehingga tidak bisa  di lewati,tidak ketinggalan pula pintu ruangan secritaris Desa disegel menggunakan  sebilah kayu dipaku ke kusin pintu  sehingga pintunya tidak bisa di buka .

Penyegelan kantor balai Desa tersebut sebagai buntut kekecewaan warga  terhadap Kinerja  SUBIRTO  sebagai  PLT(Pelaksana tugas)  Kepala Desa Taraban menggantikan Bapak TABRANI karena sudah habis masa tugasnya  tertanggal 10 november 2014 sebagai kepala Desa Taraban.penyegelan tersebut  menjadi tontonan gratis bagi masyarakat Taraban dan orang luar Desa yang kebetulan lewat  karena letak balai desa berada di akses jalan umum.Apalagi ditambah dengan kedatangan anggota  Polsek Larangan turun ke TKP yang di pimpin langsung oleh AKP BAMBANG juga dari anggota danRamil Larangan serta beberapa aparat kecamatan Larangan membikin suasana semakin terkesan.

             Menurut keterangn Bapak Tabrani(mantan kadesTaraban)kekecewaan warga bermula dari ketidak puasan masyarakat dalam pelayanan  yang di lakukan oleh PLT Kepala Desa Taraban(SUBIRTO) karena terkesan seenaknya saja pada masyarakat ” pak Subirto setiap melayani masyarakat terutama yang memerlukan tantangannya di mintai Rp.20.000,.bahkan yang sangat fatal terahir ini, Bapak Subirto menyuruh kaur keungan untuk meminta uang sebesar Rp.3 juta kepada semua pamong yang sudah masa baktinya habis awal januari 2015 dengan dalih uang tersebut untuk bapak camat,pemdes dan kaban,untungnya semua pamong tidak ada yang mau membayar”(tutur Tabrani)

            Suasana Tegang karena penyegelan balai Desa tersebut  berakhir setelah Kapolsek Larangan AKP BAMBANG beserta anggotanya  dibantu anggota danramil Larangan ,kasitrantip Larangan serta beberapa masyarakat termasuk didalamnya sebagian pamong desa  berembuk untuk membuka  segel  tersebut ,”karena balai desa milik masyarakat dan harus melayani  semua kebutuhan  masyarakat pula” (tutur kapolsek).

Selang beberapa menit kemudian mereka  sepakat dan bersama-sama    mengifakuasi kayu  penutup pintu masuk balai Desa Taraban.

            Sementara PLT Kades Taraban Subirto di hubungi  melalui telepun selulernya beliau mengatakan  belum  bisa di temui  karena sedang berada di rumah orang tuanya ./ie

Senin, 09 Februari 2015

PONDASI PAGAR PAUD MELATI LONGSOR

Jatimexpose pamekasan

            Hujan lebat yang terus meng-guyur  seluruh wilayah Kabupaten Pamekasan  minggu 01/02/2015 dari pukul 12.00- 16.00 wib berujung musibah. Pelengsengan dan pondasi Pagar PAUT MELATI di Dusun Bertah Desa Larangan Luar, Kecamatan Larangan ,Kabupaten Pamekasan yang sebelah barat longsor .”akibat peristiwa tersebut proses belajar mengajar sementara di alihkan pada rumah warga terdekat sampai tebing tersebut selesai di perbaiki karena di khowatirkan membayakan keselamatan anak-anak “(tutur ibu Hamiyah).

Dalam peristiwa ini telah membuat wajah ketua yayasan PAUT MELATI K.Sakrani atau lebih dikenal  dengan sebutan K.Pocong yang juga ketua Umum LSM LEMWAS DAMINDO(Lembaga Pengawasan dan Pemberdayaan Masyarakat Indonesia,tampak  murung  karena memikirkan jalan keluarnya sementara dana tidak ada untuk memperbaiki,namun setelah wartawan Jatimexpose  menemuinya beliau dengan santai mengatakan”dengan adanya musibah ini semuga pihak Pemerintah Kabupaten Pamekasan ada respon positif yang sudi membantu lembaga kami,karena selama ini kami hanya mengandalkan  swadaya masyarakat ,kami juga sangat berharap ada simpatisan yang bisa membagikan rejekinya untuk membantu meringankan beban kami,pihak yayasan juga telah  melayangkan surat pada kantor kecamatan Larangan tertanggal 01 -02-2015,namun sampai detik ini belum ada kabar lebih lanjut”

            Sedangkan Camat Larangan DRS.AGUS BUDI SANTOSO,MSi melalui Kasitrantip H.FAUSI ditemui di tempat kerjanya mengatakan “Pihak kecamatan Larangan sudah melaporkan musibah ini ke Dinas Penanggulangan Bencana Kabupataen serta ke Kantor Dinas Sosial,tunggu saja kabarnya mungkin satu atau dua hari ini akan ada tindak lanjut,yang penting kami sudah memberitahukan musibah tersebut”(papar H.Fausi)./swt

SERTIJAB DI KECAMATAN LARANGAN SEMARAK

SERTIJAB DI KECAMATAN LARANGAN SEMARAK

JATIMEXPOSE PAMEKASAN

Acara perpisahan Camat lama Drs.AGUS BUDI SANTOSO,MSi sekaligus menyambut kedatangan Camat baru AMIRUS SALEH,SH,MPsi  berlangsung, kamis (05/02/2015) di pendopo Kecamatan  Larangan , Turut hadir  dalam acara tersebut Asisten Pemerintahan dan Kesejahtraan Rakyat Sekritaris Pamekasan H.MOHAMAT ALWI,S.Sos.Msi, Kapolsek  Larangan  AKP BAMBANG , Danramil Larangan,para alim ulama serta Kades se-Kecamatan Larangan dan tokoh-tokoh masyarakat,serta beberapa ketua LSM yang juga mewarnai sertijab tersebut.

Dalam sambutannya Drs.AGUS BUDI SANTOSO,MSi   menyampaikan permohonan maaf, jika selama memimpin di kecamatan  Larangan tersebut terdapat salah dan khilaf. ''Selama  13 bulan saya menjabat sebagai camat, tentu dalam menjalankan tugas dalam tenggang waktu tersebut memiliki warna, tak tertutup adanya warna gelap yang mungkin muncul sebagai akibat terdapatnya rasa ketidak puasan pelayanan yang diberikan. Untuk itu kami mohon maaf kami sampaikan serta ucapan terima kasih atas dukungan yang diberikan selama bertugas. Selain itu, kami sekeluarga mengucapkan permohonan maaf pada seluruh komponen masyarakat Kecamatan Larangan ,'' paparnya 

Drs.AGUS BUDI SANTOSO,MSi   memandang pindahan tugas bukanlah kiamat, namun merupakan sebuah peluang untuk bisa menempati posisi yang oleh  semua orang berhak mendudukinya. Mutasi ini merupakan sebuah kenikmatan yang diberikan Tuhan, agar bisa lebih memperbanyak saudara di tempat baru yaitu  sebagai Sekretaris di Kantor Dinas Kehutanan dan perkebunan Pamekasan.Sementara AMIRUS SALEH,SH,MPsi   mengatakan, pindah tugas sudah lumrah di lingkungan aparatur pemerintahan. Sebelum menjadi Camat Larangan sekarang ini, dulunya AMIRUS SALEH,SH,MPsi  ditugaskan sebagai  Kepala bagian Administrasi kesejahtraan Rakyat  Setda kab Pamekasan.

AMIRUS SALEH,SH,MPsi    menambahkan, ide kreatif pada kepemimpinan sebelumnya perlu dilanjutkan dan mengajak seluruh komponen masyarakat untuk menuntaskan permasalahan yang ada selama ini. ''Terlepas dari bisa atau tidaknya saya nanti yang jelas tentu akan kita usahakan. Saya juga berharap dukungan semua pihak yang ada di Kecamatan Larangan, sehingga tugas yang diembankan bisa dijalankan sebagaimana semestinya,'' harap Amirus Saleh


  
           Hal Senada disampaikan oleh Asisten Pemerintahan dan Kesejahtraan Rakyat Setda Kab.Pamekasan H.MOHAMAT ALWI,S.Sos.Msi,  yang  mewakili dari Pemerintah Kab.Pamekasan  mengucapkan terima kasih kepada Camat Larangan  atas jasanya selama menjadi camat di daerahnya, karena dalam kurun waktu yang relatif singkat bisa membuat kecamatan Larangan semakin maju dan berkembang , karena kecamatan Larangan merupakan salah satu contoh kemajuan Kabupaten Pamekasan karena kantornya  berada di akses jalan propensi  sehingga orang-orang luar Madura pun bisa melihatnya , semoga selalu sehat dan sukses dalam  menjalankan setiap amanah yang diembankan. Berharap pengabdian   selanjutnya di tempat yang baru juga bisa mewarnai upaya pemerintah dalam memberikan kepedulian kepada masyarakat.

''Kami menilai sosok kepemimpinan Drs.AGUS BUDI SANTOSO,MSi    saat menjabat sebagai Camat Larangan  memiliki rasa kepedulian yang tinggi terhadap masyarakat.

            Sementara Ketua Umum LSM MADAS(Masyarakat Cerdas) MOH.SU,IE SH. Yang juga hadir di acara sertijab tersebut merasa sangat kehilangan Drs.AGUS BUDI SANTOSO,MSi karena selama beliau menjabat Camat Larangan Ketua umum LSM MADAS selalu duduk bersama untuk membahas keluh kesah yang terjadi di masyarakat”yang paling terkesan buat saya adalah tepatnya tanggal 4 juni 2014 jam 09.00 wib ketika  masyarakat di wilayah Kecamatan Larangan mengeluh dengan adanya bau yang kurang sedap yang di sebabkan oleh kotoran ayam pedaging dan petelur sehingga masyarakat yang mengatas namakan GEMPUR(Gerakan Masyarakat Peduli Rakyat) sebanyak 50 orang  mendemo ke kantor kecamatan mereka menuntut agar semua peternak ditutup dan bila hajat mereka  tidak dipenuhi  maka  mereka akan bertidak sendiri dengan cara  merusak kandang para peternak,namun  Alhamdulillah berkat kepedulian pak Drs.AGUS BUDI SANTOSO,MSi   yang turun  langsung pada  masyarakat khususnya kepada para peternak dan komponin masyarakat yang komplin terkait polusi tersebut  dengan cara dikumpulkan di pendopo kecamatan Larangan lalu di beri  pengertian  dan arahan akhirnya para peternak sanggup  untuk menguras kotoran ayamnya sepekan sekali,terbukti sampai dia pindahsekarang  tidak ada masyarakat yang demo lagi,harapan saya juga nantinya  Camat yang baru sangat peduli pada masyrakat.(tutur Su,ie)/swt